GWRF2019 Day 2 : About Travel, Ghost, and Community



Holla Folks! Keseruan GWRF tidak berhenti hanya dalam satu hari loh. Seperti yang saya bilang di postingan GWRF2019 Day 1 (silahkan di klik), Gramedia Writers and Readers Forum ini berlangsung selama tiga hari. Dan disini saya akan lanjut menceritakan apa-apa saja yang telah saya ikuti dia hari kedua ini. Stay Tune ya Folks!



It's not Destination, It's a Journey

So, kalian tau gak sih antara 'Traveler' dengan 'Instagramer' itu berbeda? kalau kalian melihat seseorang suka jalan-jalan dan memposting foto  jalan-jalannya di Instagram, akan tetapi ia menyamakan tonenya, folks! dia Instagramer!

Sosial media memang hak setiap orang, mereka bebas melakukan apa saja dengan sosial media mereka. Namun menurut Claudia Kaunang, Hendra Fuu, dan Trinity, dalam forum ini yang notabenenya seorang 'Traveler', Ia tidak pernah merasa sebagai selebgram mangkanya Ia selalu memposting foto tanpa edit, tanpa filter, dan sebagaimana adanya saja, bukannya tiba-tiba tonenya harus disamain dengan postingan yang lain atau editing semacam itu. Konsepnya tuh benar benar 'The Real Thing'.  Itulah bedanya, mereka tidak terlalu peduli dengan tampilan. Yah walau mereka harus tetap eksis, hanya saja mereka lebih menikmati traveling mereka dari pada eksis berlebihan di Sosmed.


Hendra Fuu, Claudia Kaunang, Trinity sedang di tanyai oleh host.

Dan dalam forum dengan tema It's not Destination, It's a Journey ini, saya mendapatkan fakta bahwa ternyata para traveler ini tidak hanya sekedar untuk enjoy bertravel ria. Mereka juga terkadang ikut berkontribusi dalam volunter atau bahkan terjun langsung dalam memberi seminar-seminar atau workshop ke tempat-tempat yang mereka datangi. Mereka juga memiliki keinginan untuk  do something atau memberi manfaat ke tempat-tempat yang mereka datangi, terutama tempat-tempat yang terpencil dan serba kekurangan.


Menghidupi Karya melalui Komunitas Literasi

Nah kalau di forum ini, yang menjadi pramateri adalah Maman Surherman dan Firman Venakyaksa. Disini, kita membicarakan bagaimana suatu komunitas literasi tidak hanya sekedar membuka akses bacaan seperti Taman Baca saja. Tetapi juga ada learning centre, dan keinginan untuk berubah, dan yang paling penting adalah merubah Indonesia. Di Taman Baca, Kang Maman juga mendapatkan berbagai inspirasi dari teman-teman yang berada disana.

Firman dan Maman Surheman setelah diberi plakat.

Gerakan Literasi sesungguhnya sudah mewabah begitu luas, dan Indonesia hanya memiliki 2% penduduk yang buta aksara. Tentu itu berarti hampir seluruh masyarakat Indonesia bisa membaca. Yah mereka bisa membaca, hanya saja apa mereka suka membaca? Tidak. tingkat literasi Indonesia ternyata masih tertinggal jauh dari negara lain. Dan mengapa ini terjadi, mungkin karena akses mereka terhadap buku masih sulit terutama di daerah-daerah timur.

Juga kita yang menjadi penggiat literasi, sudah banyak baca buku, namun belum menghasilkan buku dan berbagi ilmu dengan apa yang kita ketahui melalui buku. Taman Baca atau Komunitas Literasi dapat membantu kita dalam menghidupkan karya dan menyebarkan buku, hanya saja Pemerintah belum banyak campur tangan dalam Komunitas ini sehingga jika hanya mengandalkan masyarakat atau publik yang mengurusnya, itu belumlah cukup.

The Closest Thing Around Us

Nah kalau di forum ini kita membicarakan tentang hantu. Yups! Hantu! Bersama dengan para member @kishatanahjawa, salah satu channel youtube yang kebetulan saya gemari dan cukup terkenal. Mereka juga membicarakn tentang buku yang mereka terbitkan yaitu Jagat Lelembut, didalam buku itu terdapat banyak jenis-jenis hantu bahkan hantunya antimainstream seperti Sundel Bolong Kepala sampai Kuntilanak Merah.




Dan gak habis fikirnya lagi, waktu ditengah-tengah diskusi Om Hao berkata bahwa ada kuntilanak merah di ruangan itu lagi seliweran. Hahaha... host dan kita para audience pun otomatis merinding.

Masalahnya menurut Om Hao, Kuntilanak Merah itu yang paling kuat dan berbahaya dan paling sering digunakan untuk pesugihan. Om Hao juga berkata bahwa setiap buku yang penulisnya meninggal, apalagi buku-buku tua, kori dari penulis itu nungguin buku-buku itu di Perpus. Jadi kebayang gak? di Perpusnas saja banyak sekali buku, terutama buku-buku tua. Berarti di Perpusnas rame banget kalo dilihat dari kacamata dimensi yang lain. Wow...





Komentar

Postingan Populer